Yes, I Love You (PART I)

Leave a Comment
Yes, I Love You Allah

Katanya cinta dalam diam itu menenangkan, nyatanya ini terlalu membahagiakan.  Namaku Ilham, seorang karyawan swasta di salah satu perusahaan swasta Surakarta. Kota kecil yang terkenal dengan kahalusan bahasa dan keramahan masyarakatnya. Awalnya aku mengira keimananku sudah sangat standar, sayangnya aku lupa untuk tidak menyombongkan diri. Menilai diri ini lebih baik saat melihat sedikit saja keburukan dari jiwa lainnya. Jangan pernah mencoba untuk meniru hal itu, karena hasilnya sangat memalukan.

Gadis itu bernama Zahra, teman kuliahku dari semester satu di Universitas Sebelas Maret. Aku berjanji untuk tidak jatuh cinta kepada wanita selain ibu sebelum usiaku 25 tahun, tapi dia menggagalkannya. Awalnya sikapku biasa saja, tapi mulai awal semester 2 aku tidak bisa menahan senyum saat melihat Zahra. Entah apa yang aku lakukan sebelumnya hingga membuatku seperti ini, tampaknya keimananku dicuri diam-diam atau mungkin saja sebenarnya keimananku masih jauh dibawah standar. Saat itulah aku mulai bertingkah memalukan. Mulai dari rajin kirim pesan singkat menanyakan jadwal kuliah sampai berusaha agar bisa satu kelompok dengan Zahra. Terkadang dia membalas pesan dengan cepat tapi tidak jarang dia mengabaikan pesanku begitu saja. Hmm, mungkin karena kehabisan pulsa, pikirku menghindari prasangka buruk.

Sikapnya memang sedikit berbeda, dia sedikit pendiam dan tidak modis seperti lainnya.  Penampilannya terlihat seperti ibuku, memakai gamis dan khimar lebar hingga paha. Ada banyak perempuan di Surakarta, tapi kenapa dia? Ada banyak waktu yang sudah aku lewati untuk memegang janji untuk tidak dulu jatuh cinta, tapi kenapa hanya enam bulan satu kelas dengan Zahra membuatku mengingkarinya? Sampai saat ini aku belum juga menemukan jawabannya. Aku bukan pria yang pandai mengungkapkan rasa. Memutar otak untuk mendekatinya tanpa sedikitpun mencuri keimanannya secara diam-diam, hanya sekedar memberi kode “kelak, menikahlah denganku”.

 “cara pedekate”

Dua kata yang aku masukkan dalam menu google search, ada banyak sekali artikel yang aku baca tapi aku tidak memiliki keberanian untuk mempraktekkannya. Bukan kerena tidak jantan, tapi karena kejantananku tidak patut dipertaruhkan untuk hal yang memalukan seperti itu. Aku akan kehilangan seluruh harga diri didepan Ilahi dan sangat malu menghadap kepadaNya. Dua semester, tiga semester, hingga hari wisuda tiba, tidak ada kemajuan sedikitpun tentang hubungan aku dengan Zahra. Tidak ada masalah, aku menikmati proses ini dengan jantan. Tidak memaksakan hubungan yang seharusnya memang tidak boleh dipaksakan dan tidak juga memasuki zona yang seharusnya tidak boleh aku masuki. Aku menghargai usahanya melindungi diri, menjaga maruah juga aurat termasuk suara lembutnya.

3,5 tahun menyimpan kekaguman dalam hati dan terang-terangan menyebut namanya didepan Ilahi, aku melakukannya setiap hari tanpa henti. Aku menyadari, mungkin saja ada pria lain yang melakukan hal serupa hingga aku harus belajar berlapang dada jika kelak bukan aku yang menjabat tangan ayahnya saat ijab qobul berlangsung.

Usai legalisir ijazah selasai, aku segera mencari pekerjaan untuk menabung. Ini satu-satunya cara agar aku bisa percaya diri mendatangi rumahnya dan menyatakan keinginanku untuk menghalalkannya. Dua tahun berlalu dan kami tidak sekalipun berjumpa. Sesekali aku menanyakan kabar Zahra kepada saudara iparnya yang kebetulan satu perusahaan denganku. Rasanya lega setiap kali dia berkata bahwa Zahra baik-baik saja. Aku pernah mengirim pesan singkat pada Zahra tapi tidak sekalipun mendapat balasan, karena penasaran akhirnya aku miscall tapi operator bilang “maaf nomor yang anda tuju sedang tidak aktif”. Seharian aku dibuat bad mood karena jawaban yang kurang menyenangkan dari operator. Rasanya ingin mengunjungi rumah Zahra sekedar mengucap salam untuk mengungkapkan kerinduan tapi lagi-lagi aku tidak berani melakukannya. Sebagian teman menyebutku penakut, yang lain menamai ini sebagai pemalu, tapi aku melakukannya murni untuk menjaga kehormatanku didepan Ilahi.

Aku memberanikan diri untuk berbincang dengan ayah, tentang niatku meminang Zahra. Aku sangat malu mengatakannya pada ayah tapi aku juga sangat ingin menghalalkan Zahra. Tiga, empat kali aku menghadap ke ayah dan mengatur nafas setelah sebelumnya belajar merangkai kalimat untuk mengungkapkannya, tapi aku mundur dengan sangat cepat. Mengurungkan niatku yang sebelumnya sudah sangat kuat. Saat itu aku benar-benar memahami tantang sulitnya mempertahankan niat karena dia selalu naik turun seperti push up. Sepertinya ayah memperhatikan sikapku yang terlihat sedikit aneh. Dia bertanya ada apa dan aku langsung mengatakan niatku selagi kesempatan emas terbuka.

Aku seperti tersangka yang sedang berada di ruang interogasi. Ada banyak sekali pertanyaan, mulai dari bagaimana kepribadian Zahra, ada berapa saudara kandung Zahra, sampai pertanyaan menggoda seperti secantik ibu atau tidak. Aku sangat malu menjawabnya, tapi mau tidak mau aku harus menekan sedikit rasa malu ini demi meminang Zahra dan berkata dengan tegas “Zahra, let's go to jannah together”.

17 Juli 2015, Hari Raya Idul Fitri 1436 Hijriyah. Aku dan ayah sepakat untuk berkunjung ke rumah Zahra, bersilaturahim dan menghadap kedua orang tuanya dengan muka berseri-seri. Malamnya aku menyibukkan diri mengikuti takbir keliling untuk meredakan degdegan, aku tersenyum sepanjang malam dimalam hari kemenangan.

“Assalamu’alaikum”, sekitar lima orang mengatakannya dengan serempak.

“Wa’alaikumussalam warahmatullah”, semua orang didalam rumah Zahra menjawabnya dengan segera termasuk aku dan ayah.

Aku tidak curiga sedikitpun saat seisi rumah Zahra menyambut mereka dengan senyum lebar dan terlihat sangat bahagia. Aku dan ayah mulai main mata karena belum juga mengatakan niat kami kepada orang tua Zahra, sebelumnya kami hanya berbincang biasa dengan saudara ipar Zahra. Hingga akhirnya aku sangat terkejut mendengar salah seorang dari mereka memanggil ayah Zahra dengan sebutan besan. Ayah menatapku, tatapannya penuh tanya sama sepertiku.

Salah seorang dari rombongan menyodorkan amplop coklat dan mengatakan persyaratannya sudah lengkap temasuk foto. Pikiranku semakin tidak karuan, senyum lebarku berubah menjadi panik tidak karuan. Ada perasaan ingin pulang dan segera kabur dari perbincangan mereka tapi aku sudah terlanjur duduk duluan dan belum juga bertemu dengan Zahra. Nyaman tidak nyaman, aku harus menjadi pendengar sampai mereka selesai. 
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar