Katanya cinta dalam diam itu menenangkan, nyatanya ini
terlalu membahagiakan. Namaku Ilham,
seorang karyawan swasta di salah satu perusahaan swasta Surakarta. Kota kecil
yang terkenal dengan kahalusan bahasa dan keramahan masyarakatnya. Awalnya aku
mengira keimananku sudah sangat standar, sayangnya aku lupa untuk tidak
menyombongkan diri. Menilai diri ini lebih baik saat melihat sedikit saja
keburukan dari jiwa lainnya. Jangan pernah mencoba untuk meniru hal itu, karena
hasilnya sangat memalukan.
Gadis itu bernama Zahra, teman kuliahku dari semester
satu di Universitas Sebelas Maret. Aku berjanji untuk tidak jatuh cinta kepada
wanita selain ibu sebelum usiaku 25 tahun, tapi dia menggagalkannya. Awalnya
sikapku biasa saja, tapi mulai awal semester 2 aku tidak bisa menahan senyum
saat melihat Zahra. Entah apa yang aku lakukan sebelumnya hingga membuatku
seperti ini, tampaknya keimananku dicuri diam-diam atau mungkin saja sebenarnya
keimananku masih jauh dibawah standar. Saat itulah aku mulai bertingkah
memalukan. Mulai dari rajin kirim pesan singkat menanyakan jadwal kuliah sampai
berusaha agar bisa satu kelompok dengan Zahra. Terkadang dia membalas pesan
dengan cepat tapi tidak jarang dia mengabaikan pesanku begitu saja. Hmm,
mungkin karena kehabisan pulsa, pikirku menghindari prasangka buruk.
Sikapnya memang sedikit berbeda, dia sedikit pendiam
dan tidak modis seperti lainnya.
Penampilannya terlihat seperti ibuku, memakai gamis dan khimar lebar
hingga paha. Ada banyak perempuan di Surakarta, tapi kenapa dia? Ada banyak
waktu yang sudah aku lewati untuk memegang janji untuk tidak dulu jatuh cinta,
tapi kenapa hanya enam bulan satu kelas dengan Zahra membuatku mengingkarinya? Sampai
saat ini aku belum juga menemukan jawabannya. Aku bukan pria yang pandai
mengungkapkan rasa. Memutar otak untuk mendekatinya tanpa sedikitpun mencuri
keimanannya secara diam-diam, hanya sekedar memberi kode “kelak, menikahlah
denganku”.
Dua kata yang aku masukkan dalam menu google search, ada banyak sekali artikel
yang aku baca tapi aku tidak memiliki keberanian untuk mempraktekkannya. Bukan
kerena tidak jantan, tapi karena kejantananku tidak patut dipertaruhkan untuk
hal yang memalukan seperti itu. Aku akan kehilangan seluruh harga diri didepan
Ilahi dan sangat malu menghadap kepadaNya. Dua semester, tiga semester, hingga
hari wisuda tiba, tidak ada kemajuan sedikitpun tentang hubungan aku dengan
Zahra. Tidak ada masalah, aku menikmati proses ini dengan jantan. Tidak
memaksakan hubungan yang seharusnya memang tidak boleh dipaksakan dan tidak
juga memasuki zona yang seharusnya tidak boleh aku masuki. Aku menghargai
usahanya melindungi diri, menjaga maruah juga aurat termasuk suara lembutnya.
3,5 tahun menyimpan kekaguman dalam hati dan terang-terangan
menyebut namanya didepan Ilahi, aku melakukannya setiap hari tanpa henti. Aku
menyadari, mungkin saja ada pria lain yang melakukan hal serupa hingga aku
harus belajar berlapang dada jika kelak bukan aku yang menjabat tangan ayahnya
saat ijab qobul berlangsung.
Usai legalisir ijazah selasai, aku segera mencari
pekerjaan untuk menabung. Ini satu-satunya cara agar aku bisa percaya diri
mendatangi rumahnya dan menyatakan keinginanku untuk menghalalkannya. Dua tahun
berlalu dan kami tidak sekalipun berjumpa. Sesekali aku menanyakan kabar Zahra
kepada saudara iparnya yang kebetulan satu perusahaan denganku. Rasanya lega
setiap kali dia berkata bahwa Zahra baik-baik saja. Aku pernah mengirim pesan
singkat pada Zahra tapi tidak sekalipun mendapat balasan, karena penasaran
akhirnya aku miscall tapi operator
bilang “maaf nomor yang anda tuju sedang tidak aktif”. Seharian aku dibuat bad mood karena jawaban yang kurang
menyenangkan dari operator. Rasanya ingin mengunjungi rumah Zahra sekedar
mengucap salam untuk mengungkapkan kerinduan tapi lagi-lagi aku tidak berani
melakukannya. Sebagian teman menyebutku penakut, yang lain menamai ini sebagai
pemalu, tapi aku melakukannya murni untuk menjaga kehormatanku didepan Ilahi.
Aku memberanikan diri untuk berbincang dengan ayah,
tentang niatku meminang Zahra. Aku sangat malu mengatakannya pada ayah tapi aku
juga sangat ingin menghalalkan Zahra. Tiga, empat kali aku menghadap ke ayah
dan mengatur nafas setelah sebelumnya belajar merangkai kalimat untuk
mengungkapkannya, tapi aku mundur dengan sangat cepat. Mengurungkan niatku yang
sebelumnya sudah sangat kuat. Saat itu aku benar-benar memahami tantang
sulitnya mempertahankan niat karena dia selalu naik turun seperti push up. Sepertinya ayah memperhatikan
sikapku yang terlihat sedikit aneh. Dia bertanya ada apa dan aku langsung
mengatakan niatku selagi kesempatan emas terbuka.
Aku seperti tersangka yang sedang berada di ruang
interogasi. Ada banyak sekali pertanyaan, mulai dari bagaimana kepribadian
Zahra, ada berapa saudara kandung Zahra, sampai pertanyaan menggoda seperti
secantik ibu atau tidak. Aku sangat malu menjawabnya, tapi mau tidak mau aku
harus menekan sedikit rasa malu ini demi meminang Zahra dan berkata dengan
tegas “Zahra, let's go to jannah
together”.
17 Juli 2015, Hari Raya Idul Fitri 1436 Hijriyah. Aku
dan ayah sepakat untuk berkunjung ke rumah Zahra, bersilaturahim dan menghadap
kedua orang tuanya dengan muka berseri-seri. Malamnya aku menyibukkan diri
mengikuti takbir keliling untuk meredakan degdegan, aku tersenyum sepanjang
malam dimalam hari kemenangan.
“Assalamu’alaikum”, sekitar lima orang mengatakannya
dengan serempak.
“Wa’alaikumussalam warahmatullah”, semua orang didalam
rumah Zahra menjawabnya dengan segera termasuk aku dan ayah.
Aku tidak curiga sedikitpun saat seisi rumah Zahra
menyambut mereka dengan senyum lebar dan terlihat sangat bahagia. Aku dan ayah
mulai main mata karena belum juga mengatakan niat kami kepada orang tua Zahra,
sebelumnya kami hanya berbincang biasa dengan saudara ipar Zahra. Hingga
akhirnya aku sangat terkejut mendengar salah seorang dari mereka memanggil ayah
Zahra dengan sebutan besan. Ayah menatapku, tatapannya penuh tanya sama
sepertiku.
Salah seorang dari rombongan menyodorkan amplop coklat
dan mengatakan persyaratannya sudah lengkap temasuk foto. Pikiranku semakin
tidak karuan, senyum lebarku berubah menjadi panik tidak karuan. Ada perasaan
ingin pulang dan segera kabur dari perbincangan mereka tapi aku sudah terlanjur
duduk duluan dan belum juga bertemu dengan Zahra. Nyaman tidak nyaman, aku
harus menjadi pendengar sampai mereka selesai.
0 komentar:
Posting Komentar